"Distro" dan "Clothing Company" Dari Indie Jadi Sakti

Berawal dari idealisme memperkuat eksistensi sebuah komunitas yang diturunkan dalam bentuk gaya berpakaian. Akhirnya tercetus ide membuat clothing company dan distro yang sekarang mewabah ke hampir banyak kota di Indonesia.

Buat yang sering jalan-jalan ke Bandung, pasti tidak heran melihat toko-toko kecil yang menjual pakaian dan pernak-pernik keren. Biasanya di toko-toko kecil itu juga terdapat gerombolan cowok-cewek seumuran kita yang sedang menjaga tokonya atau sekadar mengobrol. Nah, toko-toko semacam ini dinamai distro dan banyak bertebaran di Bandung. Begitu banyaknya, hingga bisa saja di suatu lokasi yang berjarak 100 meter, bisa ditemukan 4 buah distro.

Kata distro sendiri berasal dari singkatan distribution store, berfungsi menerima titipan dari berbagai macam merek clothing company lokal yang memproduksi sendiri produknya; t-shirt, tas, dompet, jaket dan lain-lain. Dikarenakan belum mempunyai tempat pemasaran sendiri atau ingin memperluas pemasarannya, clothing company ini "akrab" banget dengan distro.

Bila ditanya siapa pelopor berdirinya clothing company dan distro di Bandung? Pasti sulit banget mencari jawaban yang pasti karena semua berawal dari usaha kecil, dengan gaya promosi dari mulut ke mulut.

Yang pasti ada nama-nama lama seperti M-Clothing yang berdiri sejak tahun 1993, Reverse yang berdiri sejak tahun 1995 tetapi kemudian bubar, dan menyusul 347 Boardrider, yang awalnya ada di Jalan IR H.Juanda No 347, lalu berkembang pesat hingga pindah ke Jalan Trunojoyo 4 Bandung. Nama-nama tersebut sudah menjadi brand-brand lokal Bandung yang cukup terkenal. Setelah itu, clothing company pun bermunculan. Hingga saat ini kira-kira ada sekitar 200-an merek clothing company di Bandung.

Modal kecil

Untuk membuat sebuah clothing company, tidak harus dengan modal besar. Contohnya Arief Maskom (28 tahun), yang mendirikan M-Clothing dengan hanya bermodalkan Rp 200.000 (dua ratus ribu rupiah) kira-kira sepuluh tahun yang lalu. Modal tersebut digunakan untuk memproduksi lusinan t-shirt, dan mendistribusikannya. Clothing company yang sekarang berganti nama menjadi Ouval Research ini sekarang telah memiliki 2 buah toko di Bandung, plus 28 karyawan.

Adapun untuk membuka sebuah distro, hanya dibutuhkan modal "nekat". Cukup menyediakan sebuah ruangan kecil, misalnya mengambil salah satu sudut rumah, seperti garasi. Lalu untuk barang-barangnya biasanya digunakan sistem jual titip, dengan menerima titipan barang dari beberapa clothing company. Bila barang-barang titipan tersebut laku terjual, barulah disisihkan keuntungan untuk si distro.

Promosinya sendiri biasanya dari mulut ke mulut atau dengan menggunakan pamflet dan stiker. Benar-benar tanpa modal yang berarti deh. Karena itu, tidak heran begitu banyak distro-distro kecil yang semakin hari makin banyak bermunculan.

Semangat "indie"

Selain modalnya dikit, ada semangat lain di balik menjamurnya distro dan clothing company, yakni solidaritas pertemanan serta semangat ber-indie ria. Yap, pertemanan memang menjadi modal utama menuju kesuksesan berbisnis distro di Bandung.

Ouval Research misalnya. Awalnya muncul sebagai sebuah idealisme founder-nya yang ingin menghasilkan produk yang diilhami dari komunitas skateboard. Sebuah komunitas yang bukan hanya sekadar olahraga, tetapi juga menjadi gaya hidup mereka. Tentu saja termasuk berbagi bentuk atribut dalam berbusana.

Begitu pula halnya dengan Riotic, yang berawal dari komunitas punk dan hardcore yang ingin menunjukkan eksistensi mereka dengan memakai kaus-kaus punk dan aksesori punk buatan sendiri. Pokoknya sesuai dengan idealisme mereka, deh.

Pengalaman unik lainnya ada pada Dede, pendiri Distro Anonim. Awal terbentuknya distro miliknya tahun 1999 ini hanya karena hobinya nonton film dan mendengarkan musik. Maka, bersama temannya yang satu aliran, dia sepakat untuk membuka sejenis toko yang menjual merchandise film, seperti poster dan t-shirt. Lagi pula saat itu kalaupun ada toko resmi yang menjual merchandise sejenis, pasti harganya sangat mahal serta masih jarang.

Dikarenakan belum ada clothing company yang mau menitipkan produknya, sebagai barang awal Dede memesan puluhan t-shirt impor dari Internet yang kemudian dijualnya. Laku keras, man! Melihat prospek distro Dede, tiga temannya pun tertarik untuk bergabung. Sebagai strategi mempermurah biaya produksinya, Dede cs pun bermaksud untuk menjual produk-produk lokal Bandung saja. Akhirnya dengan usaha keras ke pelosok Bandung mencari clothing company yang mau menitipkan barang di tokonya, Dede menemukan beberapa clothing company seperti No Labelstuff, Ouval, Monik, dan Airplane.
Kurang puas, Dede pun ingin menjual merchandise band-band underground di Bandung. Akhirnya dia bekerja sama dengan sebuah toko di Cihampelas bernama Harder sehingga produk-produk tersebut bisa masuk ke distronya. Bahkan sekarang Anonim yang berlokasi di Dago ini sudah bisa memperluas tokonya dan memproduksi merek sendiri. Hebatnya lagi, begitu penuhnya produk di distro miliknya, hampir setiap minggu dia harus menolak clothing company baru yang ingin menitipkan barangnya.

"Membunuh" FO

Bentuk kerja sama jaringan distro dan clothing company juga terbuka untuk band-band indie yang ingin membuat merchandise band seperti kaus dengan logo dan nama band mereka. Untuk desainnya, kadang dibebaskan kepada clothing company yang memproduksinya. Bahkan tidak menutup kemungkinan distro dan clothing company ini bekerja sama dalam bentuk endorse, yakni menyediakan baju-baju untuk para pemain bandnya.

Dengan berkembang pesatnya distro dan clothing company di Bandung, citra factory outlet (FO) pun tergeser sebagai sesuatu yang ngetren di kalangan anak muda. Apalagi kalau bukan karena anak-anak muda di sana lebih memilih belanja baju di distro dibanding ke FO.

Oh ya, FO sama distro beda jauh, lho! Karena distro lebih memiliki eksklusif. Mass product yang jadi andalan FO sama sekali ditabukan di distro, yang cenderung enggak menjual banyak produk per desainnya. Clothing company seperti Ouval, 347 Boardrider, Two Clothes, dan lain-lain memang membatasi kuantitas produknya. Malah hanya diproduksi sekali untuk setiap desain.

Selain itu, FO juga menjual barang-barang sisa ekspor atau brand nagri secara massal. Adapun distro murni menjual produk dalam negeri. Belanja di distro pun ternyata lebih menyenangkan karena suasananya yang akrab, plus kalau kenal dengan pemiliknya bisa dapat diskon yang lumayan, he-he-he. Benar-benar bisnis pertemanan, deh!

Walaupun bisnis distro terkesan indie, ternyata efeknya bisa menggeser merek-merek lokal major, maksudnya yang bermodal besar dan sudah punya nama. Kesaktiannya didapat dari harganya yang murah dan desainnya yang banyak menampilkan simbol-simbol kebebasan. Benar-benar lebih bisa merebut hati anak muda. Coba saja tengok tulisan-tulisan dan gambar di kaus-kausnya. Belum lagi warna dan desainnya yang selalu up to date dan fresh!

Terus mewabah

Lalu bagaimana dengan perkembangan distro dan clothing company di luar Bandung? Cynical.Md bisa jadi salah satu nama clothing company yang bisa dianggap pelopor di Jakarta. Berlokasi di Jalan Lamandau, Jakarta Selatan, tempat yang tidak pernah sepi ini juga memproduksi baju-baju dengan brand sendiri. Kemudian muncul pula nama-nama baru seperti Hips, Locker, Jumps, dan lain-lain yang makin memperluas lautan distro di Jakarta.

Tidak tertutup kemungkinan distro-distro dan clothing company ini juga meluas ke seluruh wilayah Indonesia, mengingat jalur pendistribusian yang semakin luas. Apalagi ditambah semangat solidaritas dan indie yang terus ditularkan ke kota-kota lain.
Seperti membentuk sebuah jaringan tersendiri.

1 komment:

Posting Komentar

Ayo donk kommentarnya,,
Saya menerima semua masukan baik kritik atw sarannya..
trims sebelumnya,, =)